SAYA selalu merasa beruntung bisa mengakses beberapa referensi penting,
kadang bahkan secara prodeo alias cuma-cuma. Seperti Selasa (26/11)
kemarin. Indera penasaran saya langsung bereaksi ketika Mang Dinan,
artworker kugiran dari The Illuminator, ngetag beberapa cuplikan Majalah
Metal Hammer edisi Desember 2012 yang membahas tentang skena tempat
kita menarik napas. Sumpah, Metal Hammer adalah salah satu kitab haluan
hidup saya. Saya selalu merasa bagaikan
butiran-debu-yang-tak-tahu-arah-jalan-pulang tiap kali membaca majalah
ini. Baik dari segi kemasan/artistik dan terlebih cara mereka mengupas
sesuatu. Sangat influensif dan tentu saja referensif pula (anjirrr,
istilah naon deuih eta). Jika suatu saat punya duit, saya punya
cita-cita mau bikin majalah underground dengan kemasan menyerupai Metal
Hammer.
Karena penasaran, siangnya saya langsung cabut ke kantor Kompas. Seorang
kawan yang jurnalis harian ini biasanya membeli Metal Hammer secara
berkala. Dan, alhamdulillah dia sudah punya edisi Desember. Tadinya,
jika teman itu belum punya, saya mau merapat ke Common Room. Siapa tahu
Mang Dinan masih baca majalah itu di sana dan saya bisa minjem barang
sebentar. Hahahaha… katingali aing teu mampu meuli majalah!
Saya tidak terlalu tertarik dengan ulasan lain. Saya interes dengan
review tentang skena metal Indonesia. Tapi, yah seperti ekspektasi
sebelumnya, tidak banyak hal baru. Ulasan seperti itu sudah sering saya
temukan. Termasuk ulasan tentang Burgerkill. Bedanya, yang satu ini
dikemas dalam bahasa Inggris dan yang membahasnya bukan media kelas
ecek-ecek. Metal Hammer, mabrohhh!
Meski demikian ada beberapa poin yang tetap menarik. Salah satunya quote
dari Ebenk Burgerkill di halaman 72: “My father keep asking me to get a
different job, but I don’t care about money.”
Sebuah kalimat yang sangat bombastis, saya kira. Boleh jadi Ebenk bisa
bicara seperti itu karena ia telah sukses bersama Burgerkill. Secara
langsung atau tidak, Burgerkill telah mengantarnya mencapai kesuksesan
hidup. Dulu Ebenk boleh tidak peduli dengan uang, tapi sekarang uang
sangat peduli dengannya.
Tapi lepas dari itu, kalimat tersebut memang layak dijadikan trigger
buat siapa pun yang saat ini menapakkan kakinya di skena metal, terutama
buat mereka yang tengah merajut mimpi dengan jadi pemain band. Bahwa,
mencari kehidupan — dengan tolok ukur paling gampang: duit — tidak hanya
sekadar bisa dikais dengan bekerja kantoran. Bahwa, ada jalan hidup
lain yang bisa kita andalkan untuk menghidupi diri sendiri, lalu
kemudian anak istri, dan bahkan kalau mungkin memberdayakan lingkungan
kecil kita.
Dan ucapan Ebenk yang jadi quote Metal Hammer terasa memiliki benang
merah dengan celotehan Che di dinding facebook pribadinya. Che menukil
cerita sukses NOAH saat konser di Makassar yang harga tiketnya mencapai
dua juta perak dan ternyata tetap laku goreng bak kacang keras. “Level
dunia pertunjukan band di Indonesia sudah meningkat. Harga tiket konser
NOAH mencapai Rp 2 juta. Sementara tiket kelas festival konser Sting di
Jakarta Rp 1.800.000. NOAH gokil, harga tiketnya setara musisi dunia,”
ulas Che.
Tapi, inti ucapan Che bukan di situ. Ia bermaksud member spirit buat
pegawai band dari kalangan indie, cutting edge, underground, atau apalah
istilahnya. “Oke, kita lupakan NOAH. Mari kita tengok kawan-kawan kita
dari kalangan band yang nggak punya majikan. Ada cerita menarik dari
salah satu kru Cupumanik yang jadi roadis sebuah band metal asal
Jakarta. Dia cerita kalo tiap personel band metal tersebut mendapat
pemasukan sekitar Rp 6 juta saban bulan. Itu di luar uang manggung,”
cerita Che lagi.
Ada ucapan Che yang sangat dalam tentang kasus ini, “Sekarang kesempatan
meraih rejeki terbuka lebar buat anak band indie. Dan faktanya, rejeki
Tuhan di wilayah profesi jadi anak band (indie) tidak kering. Mari kita
buka mata, apa pun profesinya, sukses itu milik orang yang yakin dan
rela berkeringat deras.”
Anjroott… ini saya kira kalimat yang sangat inspirasional buat kalian
yang saat ini main band. Banyak fakta yang menunjukkan, beraktivitas di
skena metal bisa juga hidup layak. Burgerkill memang lagi-lagi jadi
contoh ideal. Tapi di luar Burgerkill, masih banyak lagi contoh.
Oke, memang benar, kecuali untuk segelintir band, uang tampil band-band
metal sangat tidak bisa dijadikan sandaran hidup. Tapi, kita akan mati
kelelahan jika terus-terusan berkubang dalam masalah ini. Kita memang
bukan kalangan komersialis murni yang bisa mematok harga manggung segini
atau segitu. Selalu ada ewuh pakewuh atas nama jalinan pertemanan.
Alih-alih terjebak dalam situasi ini, sebuah band lebih baik mencari
jalan lain untuk menghidupi diri. Berjualan merchandise sama sekali
bukan profesi haram menurut agama. Memanfaatkan jalinan pertemanan di
komunitas untuk mencari peluang hidup, adalah hal yang wajar dan sah
menurut hukum.
Silakan bereksploitasi di sana. Jangan pula memberati diri dengan
embel-embel tudingan sell out alias menggadaikan idealisme. Kita perlu
hidup. Perlu berdaya. Perlu berpikir memiliki istri dan keluarga dengan
taraf ekonomi yang layak. Tentu saja dari hasil main band, bukan yang
lain. Sebab, jika kaya dari hasil menjadi direktur BUMN mah nggak rock
‘n roll atuh coy. Kaya dari hasil bermain band metal, itu baru funky.
Utopis memang, tapi bukan berarti tidak bisa digapai.
BERHENTI MENGEMIS
Di luar soal itu, masih ada celotehan Che yang tidak kalah menarik.
Yakni, tentang cara mengapresiasi musisi lewat membeli CD original.
Dalam celotehannya, Che mengaku ada orang yang bertanya di akun twitter
miliknya: “Che, apakah dengan cara member CD original sebuah band
berarti kita sudah menghargai musisi?”
Che lalu menjawab, “Jangan membeli CD (Cupumanik) hanya karena ingin
menghargai. Belilah sesuatu atas dasar suka. Sebuah penghargaan terhadap
karya musik bisa dimulai dari kata suka. Prinsip ekonomi/transaksi jual
beli antara pasar dengan band bermuara di situ. Prinsip sederhananya
dan hukum yang masih berlaku masih seperti ini: gue suka, gue beli. Saya
sendiri sudah berhenti menyemburkan pernyataan: hargai kita dong, beli
CD original kami dong! Sebab, bagi kami, kalau memang kalian suka tentu
akan membeli karya Cupumanik tanpa paksaa. Sesederhana itu kok!”
Dalam kalimat lain Che ingin berujar, jika orang belum mau beli apa pun
yang dikeluarkan Cupumanik (entah itu album, merchandise, atau tiket
konser) berarti belum menyukai. Oleh karena itu, jangan menggerutu atau
ngambek dengan keadaan tersebut. Justru sebaliknya, jika orang belum mau
beli karya kita, itu berarti peringatan bagi kita untuk memperbaiki
diri biar band kita terlihat cantik, mengkilap, mentereng, unyu-unyu.
Jika band kita sudah keren, tanpa harus mengemis pun mereka akan naksir.
Jika sudah naksir maka kecenderungan untuk membeli karya kita jadi
lebih besar. So, mari berhenti mengemis! Dan tentu saja tetap woles,
kawan!